Apa yang
sulit dari memotret?
Komposisi,
lighting atau moment? Apakah itu yang susah? Bukan, sekali lagi berdengung
dengung mengenai yang sulit dalam memotret. Lalu saya mencoba berfikir memotret
itu bisa di bilang tidak susah, semua orang bisa meski caranya yang berbeda. Apa
kah cukup disitu? Tidak benak saya berkata tiap fotografer pasti akan berfikir,
apakah kualitasnya cukup hanya sampai disini? Lalu belajar belajar lagi lah
sang fotografer tersebut. Di suatu ujung pasti fotografer tersebut apa saya puas dengan foto saya ini? Saya jawab
seharusnya saya tidak puas.
Sang fotografer
di berikan fitrah melihat dalam sebuah bidang view finder secara 2 dimensi. Sebuah
hasil karya apakah hanya di simpan di hardisik, diunggah di facebook,
atau menjadi portofolio? Saya fikir seharusnya setiap fotografer yang mempunyai
“gift” melihat dunia dengan cara nya
tidak hanya di situ. Melaikan menjaga eksistensi, sebagai contoh untuk menjaga
eksistensinya islam, para sahabat, tabi’in-tabi’in sampai generasi seterusnya
menghimpun atau mengkodifikasikan hadits. Bangsa Jepang menjaga eksistensi
melalui bahasa asli mereka. AB Tree sampai sampai merubah nama menjadi B3 untuk
mejaga eksistensinya.
Lantas apa eksistensi itu?
Dalam kbbi eksistensi di jelaskan ek·sis·ten·si /éksisténsi/
sebuah kata kerja dalam hal berada atau keberadaan. Lantas sebagai seorang
fotografer apakah eksistensinya? Eksistensinya mungkin adalah berkarya, apakah
cukup hanya berkarya? Tentu berkarya dengan membawa pesan yang kita harapkan.
Sebagai seorang fotografer memperhatikan mengenai
komposisi, lighting, atau momen adalah hal penting tapi hal tersebut sudah semestinya diluar kepala sang fotografer tersebut. Tetap menjaga
suatu eksistensi adalah hal mahal yang harus terus terusan di latih oleh
seorang fotografer. Eksis bukanlah sebagai ajang pamer diri, melainkan ajang
untuk memberikan sudut pandang kita terhadap suatu permasalahan yang ada, sehingga orang lain tahu siapa kita. Permasalahan
tidak selamanya harus permasalahan yang buruk. Melainkan permasalahan yang
mempunyai poin of interest.
Bagi saya eksistensi adalah seperti bermain suit ala jepang, gunting kertas batu satu sama lain bisa mengalahkan, dengan terus memotret dan mencoba
memamerkannya dengan teman sejawat saya akan bisa berkembang dengan cara saya sendiri. Yang terpenting adalah kita sebagai
fotografer tidak mati dihantam batu revolusi kamera.
Eksistensi samadengankah dengan narsisisme, Kang? Hahaha.
BalasHapusbisa juga di sebut nars is me -serius ini-
BalasHapus