Sabtu, 17 September 2011

Gunting Kertas Atau Batu? -sebuah renungan seorang kuli foto-


Apa yang sulit dari memotret?
Pertanyaan ini terus berdengung hingga malam dikalahkan sang fajar...
Komposisi, lighting atau moment? Apakah itu yang susah? Bukan, sekali lagi berdengung dengung mengenai yang sulit dalam memotret. Lalu saya mencoba berfikir memotret itu bisa di bilang tidak susah, semua orang bisa meski caranya yang berbeda. Apa kah cukup disitu? Tidak benak saya berkata tiap fotografer pasti akan berfikir, apakah kualitasnya cukup hanya sampai disini? Lalu belajar belajar lagi lah sang fotografer tersebut. Di suatu ujung pasti fotografer tersebut  apa saya puas dengan foto saya ini? Saya jawab seharusnya saya tidak puas.

Sang fotografer di berikan fitrah melihat dalam sebuah bidang view finder secara 2 dimensi. Sebuah hasil karya apakah hanya di simpan di hardisik, diunggah di facebook, atau menjadi portofolio? Saya fikir seharusnya setiap fotografer yang mempunyai “gift” melihat dunia dengan cara nya tidak hanya di situ. Melaikan menjaga eksistensi, sebagai contoh untuk menjaga eksistensinya islam, para sahabat, tabi’in-tabi’in sampai generasi seterusnya menghimpun atau mengkodifikasikan hadits. Bangsa Jepang menjaga eksistensi melalui bahasa asli mereka. AB Tree sampai sampai merubah nama menjadi B3 untuk mejaga eksistensinya.

Lantas apa eksistensi itu?

Dalam kbbi eksistensi di jelaskan ek·sis·ten·si /éksisténsi/ sebuah kata kerja dalam hal berada atau keberadaan. Lantas sebagai seorang fotografer apakah eksistensinya? Eksistensinya mungkin adalah berkarya, apakah cukup hanya berkarya? Tentu berkarya dengan membawa pesan yang kita harapkan.

Sebagai seorang fotografer memperhatikan mengenai komposisi, lighting, atau momen adalah hal penting tapi hal tersebut sudah semestinya diluar kepala sang fotografer tersebut. Tetap menjaga suatu eksistensi adalah hal mahal yang harus terus terusan di latih oleh seorang fotografer. Eksis bukanlah sebagai ajang pamer diri, melainkan ajang untuk memberikan sudut pandang kita terhadap suatu permasalahan yang ada, sehingga orang lain tahu siapa kita. Permasalahan tidak selamanya harus permasalahan yang buruk. Melainkan permasalahan yang mempunyai poin of interest.

Bagi saya eksistensi adalah seperti bermain suit ala jepang, gunting kertas batu satu sama lain bisa mengalahkan, dengan terus memotret dan mencoba memamerkannya dengan teman sejawat saya akan bisa berkembang dengan cara saya sendiri. Yang terpenting adalah kita sebagai fotografer tidak mati dihantam batu revolusi kamera.

2 komentar:

  1. Eksistensi samadengankah dengan narsisisme, Kang? Hahaha.

    BalasHapus
  2. bisa juga di sebut nars is me -serius ini-

    BalasHapus