Pada zaman kejayaan Orde Baru, Oom Liem memberikan komentar jitu. “Dia tidak takut bahwa bisa atau akan ada gerakan ekstrem kanan, selama ABRI masih kompak. Yang dia takuti sangat berbahaya ialah bila ABRI sampai pecah.” Dan kata-kata Oom Liem terbukti ketika pada 14 Mei 1998 rumahnya dibakar massa karena ABRI tidak kompak. Karena Wiranto bersaing dengan Prabowo, karena ABRI tidak kelihatan ketika anarki merajalela dan terbukti sebagian oknum ABRI terkait dengan aksi anarki.
revormasi 1998 pelepas dahaga bagi para anggota TNI dan Polri. Tanpa hak suara, hak pilih dan dipilih. Sekan-akan mereka tidak mempunyai hak demokrasi lagi. Isu mengenai hak pilih TNI menghangat kembali diawali perkataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah acara di Denpasar, Bali. Wacana tersebut beranggapan bahwa TNI dalam konteks mempunyai hak pilih (baik pemilu, pilpres dan pilkada). Seorang TNI memang tidak berhak memilih, karena yang punya hak memilih adalah status individunya sebagai warga negara. Jadi kalau seorang anggota TNI ikut memilih dalam pemilu itu muri mewakili dirinya sebagai orang biasa warga negara Indonesia. Memilih di dalam pemilihan umum merupakan hak asasi warga negara yang bersifat universal, tak terkecuali bagi anggota militer. Hal ini tentu saja bertentangan dengan UU No.34 tahun 2004 jelas disebutkan bahwa TNI harus netral, untuk mengembalikan hak pilih itu, bukan mudah, tapi perlu persetujuan DPR dan Presiden untuk mengubah regulasi tersebut.
Di negara-negara barat seperti Turki, negara ini tidak memberikan hak pilih dengan alasan bahwa militer adalah penjaga ideologi negara Turki yang sekuler. Di beberapa negara Afrika seperti Angola dan Chad dan di Amerika Latin seperti Bolivia, militer juga dilarangikut memilih dalam pemilu karena alasan politik tertentu. Lalu pertanyaanya pantaskah TNI mendapat hak suaranya dan apakah ini merupakan bentuk demokrasi yang dapat di katakan demokratis nyata??
Eks Panglima TNI Jendral (Purn) Endriartono Sutarto mengatakan prajurit TNI harus bisa menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 nanti. Sebab, itu merupakan hak prajurit sebagai warga negara, bukan atas nama institusi.
“Kalau kita sepakat dan menyadari arti demokrasi ya harus demokrasi yang sempurna, jangan setengah-setengah. Jangan dikebiri hak prajurit karena institusi,” kata dia.
Menurut Endriartono, saat masih menjadi panglima TNI tahun 2004 lalu, demi kepentingan yang lebih besar yaitu negara, ia memang memutuskan untuk menegaskan bahwa TNI tidak ikut memilih di tahun 2004 dan 2009. Apalagi tahun 2004 itu TNI masih mempunyai perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat. “2004 masa peralihan, TNI masih punya perwakilan di DPR. Kita berikan trust kepada publik untuk meninggalkan politik praktis. Tapi sekarang saya pikir sudah cukup,”ujarnya.
Wacana di atas sangat menarik ketika di bahas, tak kurang beberapa sosiolog dan ahli psikologi berpendapat sangat banyak. Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola mengatakan, untuk bisa mendapatkan hak tersebut, ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan oleh institusi TNI dan juga Polri.
“Harus ada penyembuhan luka-luka di masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh perilaku anggota TNI dan juga Polri di masa lampau. Tuntaskan dulu kasus-kasus yang ada, kasus Semanggi, kasus Aceh, kasus Papua. Butuh waktu untuk sembuhkan luka-luka itu,” jelas Thamrin
Namun sebuah untaian kata indah tujuan demokratis diatas akan jadi debat kusir saja bila kita tidak lupa akan Asas dari TNI yaitu “Kesatuan Komando” yang selama ini di pegang teguh oleh TNI. Seperti diungkapkan anggota Komisi I DPR asal Fraksi PDI Perjuangan, Sidarto Danusubroto. Dia mengatakan, sebagai warga negara, anggota TNI memang memilih hak memilih. Namun, Untuk tahun 2014 belum waktunya karena kondisi demokrasi kita masih prosedural, belum substansial.
“Untuk tahun 2014 belum waktunya karena kondisi demokrasi kita masih prosedural, belum substansial,” kata Sidarto, pada diskusi Radio Trijaya “Jika TNI Memiliki Hak Pilih”, di Jakarta, Sabtu (26/6).
Dapat di simpulkan sekarang penting mana, Demokrasi atau ketakutan akan permainan Politik dari TNI.kesatuan komando di anggap tidak menetralkan fungsi pilihan dari TNI. Sementara TNI juga adalah masyarakat yang selayaknya negara demokrasi memberikan layanan itu guna menuju demokrasi yang nyata.
Pengkajian lebih dalam akan hal ini dapat di asumsikan seperti ini, tidak menggunakan hak memilih saja, TNI sebenarnya sudah memunyai orientasi politik berbeda karena banyaknya partai saat ini. dikarena purnawirawan yang tersebar di sejumlah partai politik. Sehingga rawan sekali ke tidak independenan dan tidak kejujuran dapat di pegang teguh. Bila ingin hal ini di angkat maka paling tidak asas kesatuan komado hanya di berlakukan terbatas, terbatas akan hal di luar kepemimpinan. Sehingga mampu memberikan ruang pada Politik. Namun selama ini bangsa kita saja sulit untuk melepaskan diri dari korupsi. Hanya dengan hati kuat di dukung dengan sarana penyedia pengamatan kenetralitasan TNI hal tersebut akan mudah untuk dapat di wujudkan, bila tidak SELAMAT DATANG PARTAI TNI.